Sejak Pandemi, Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Meningkat

  • Cetak

PADANG, binews.id -- Sejak Januari hingga November 2020, Womens Crisis Centre (WCC) Nurani Perempuan menerima pengaduan 80 kasus kekerasan terhadap perempuan di Sumbar, yang didominasi oleh kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) dinilai dapat menjadi "obat", agar ke depan jumlah kasus tak semakin meningkat.

Hal itu disampaikan Direktur WCC Nurani Perempuan Rahmi Meri Yenti. Sebelumnya pada 2017, pihaknya menerima pengaduan atas 132 kasus kekerasan, kemudian meningkat tajam pada 2018-2019 dengan total 259 kasus.

"Sementara itu secara nasional, kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat pada 2019 dengan total 406.178 kasus. Sedangkan sebelumnya, pada 2018 tercatat sebanyak 348.466 kasus berdasarkan laporan yang diterima Komnas Perempuan," kata Rahmi, Kamis (26/11/2020), usai "Dialog Jalanan" memperingati 16 hari kampanye Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan setiap 25 November hingga 10 Desember.

Mengingat kian maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan, kata Meri, membuat Nurani Perempuan dan banyak LSM lainnya meminta dan mendesak agar pemerintah segera mengesahkan RUU P-KS. Oleh karena itu, dalam kampanye 15 hari tersebut pihaknya mengusung tema "Jeritan Perempuan dalam Asa-Sahkan RUU P-KS, Jangan Tunda Lagi."

Masyarakat, kata Meri lagi, berharap agar pemerintah segera mengesahkan RUU yang sudah digagas sejak 2014 lalu, dan hingga kini masih belum mendapatkan kepastian. Kehadiran RUU tersebut, diyakini sangat penting untuk memberikan perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan, serta menjadi benteng agar perempuan terhindar dari potensi menjadi korban.

"Sejauh memberikan pendampingan, Nurani Perempuan merasakan betul berbagai kendala saat memulihkan kondisi korban secara medis dan psikologis. Sebab, banyak juga korban yang belum memiliki jaminan kesehatan. Terlebih di tengah Pandemi Covid-19 ini, tentu berdampak pada layanan pemulihan korban, karena pembatasan yang diterapkan oleh rumah sakit," katanya lagi.

Pandemi Covid-19 sendiri dinilai membuat perempuan semakin rentan menjadi korban kekerasan. Data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan telah diterimanya 892 pengaduan langsung dari Januari hingga Mei 2020. Angka ini setara dengan 63% dari total pengaduan sepanjang 2019.

Sementara itu, mayoritas laporan tersebut masuk pada April atau pada bulan kedua kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dengan angka mencapai 232 laporan. Lebih banyak dari bulan sebelumnya yang tercatat 181 laporan. Ada pun pada Mei 2020, tercatat sebanyak 207 laporan.

Ada pun ranah kasus kekerasan yang paling banyak dilaporkan adalah, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau ranah personal (RP) dengan persentase mencapai 69 persen dari total kasus sepanjang Januari-Mei 2020. Disusul kekerasan di ranah komunitas sebanyak 30 persen, dan di ranah negara sebanyak 1 persen.

Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah menyatakan, hal ini terjadi lantaran PSBB dan penurunan tingkat ekonomi atau penghasilan membuat ketegangan dalam hubungan suami-istri meningkat. Hasil survei daring Komnas Perempuan periode April-Mei 2020 terhadap 2.285 orang laki-laki dan perempuan menyatakan, 10,3 persen responden mengaku hubungannya dengan pasangan semakin tegang sejak pandemi Covid-19.

Di sisi lain, Tim Komunikasi Publik Satgas Penanganan Covid-19 Nasional, Reisa Broto Asmoro, mengungkapkan, berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dan Komnas Perempuan, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat sejak masa pandemi Covid-19 hingga 75 persen.

"Pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak (P2TP2A) dan Komnas Perempuan mencatat peningkatan kasus pada perempuan sebesar 75 persen sejak pandemi Covid-19," kata Reisa dalam siaran langsungnya di akunYouTubeBNPB.

Dilihat darislideyang ditayangkan, total kasus kekerasan terhadap perempuan selama pandemi sebanyak 14.719. Dari kasus itu, terjadi di 3 kategori, ranah personal sebesar 75,4 persen atau 11.105 kasus, ranah komunitas 24,4 persen atau 3.602 kasus, dan ranah negara 0,08 persen atau 12 kasus.

Dari total itu, kekerasan pada perempuan yang paling banyak terjadi adalah jenis kekerasan fisik yang jumlahnya mencapai 5.548 kasus. Kemudian kekerasan psikis sebanyak 2.123 kasus, dan kekerasan seksual 4.898 kasus. Sedangkan kekerasan ekonomi mencapai 1.528 kasus dan kekerasan khusus terhadap buruh migran dantraffickingmencapai 610 kasus.

Reisa mengatakan, masyarakat yang mengalami kekerasan diharapkan mengadukan ke pemerintah setempat. Pelayanan pengaduan itu tetap buka selama pandemi dengan menerapkan protokol kesehatan.

"Pertama, korban bisa melapor ke pemerintah setempat di Jakarta misalnya tersedia layanan call center untuk melayani pengaduan kekerasan, pada situasi pandemi saat ini pelayanan tetap dibuka dengan mengutamakan protokol kesehatan, misalnya dengan cara pencatatan semua dokumen dan penanganan dilakukan secaraonlineoleh petugas," katanya.

Kedua, mendapatkan bantuan dari orang terpercaya yang dapat memberikan dukungan, baik secara psikologis dan medis, dan sebisa mungkin keluar dari situasi yang mengundang kekerasan tersebut. Reisa juga meminta, agar masyarakat yang bukan korban, melaporkan kejadian kekerasan yang terjadi di sekitar lingkungan tempat mukim.

"Ketiga, bagi kita yang bukan korban bersuaralah, pastikan kita tidak bilang tidak kepada bentuk kekerasan apa pun, berikan dukungan kita kepada korban dan bergabunglah dengan kelompok antikekerasan berbasis gender, dukung pemerintah untuk membantu memutus rantai kekerasan berbasis gender," tuturnya, dikutip daridetikcom.(*)

Editor: BiNews

Komentar

Berita Terbaru