Nevi : Ditengah Pandemi Masyarakat Perlu BBM Murah, Manajemen Pertamina Perlu Berubah Demi Rakyat

  • Cetak

JAKARTA, binews.id -- Pemerintah diminta oleh Anggota Komisi VI DPR, Hj. Nevi Zuairina untuk kembali menyehatkan Pertamina agar bisnisnya sehat dan memiliki peran serta program sosial untuk membantu masyarakat yang memiliki usaha UMKM berupa CSR nya.

Dukungan pemerintah, menurut Nevi, adalah dengan merealisasikan pencairan hutang pemerintah ke PT Pertamina (Persero) Tahun Anggaran 2020 sebesar Rp 45.000.000.000.000- (Empat Puluh Lima Triliun Rupiah) yang berupa kompensasi selisih harga jual eceran Jenis BBM Tertentu (JBT) Solar dan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Premium Tahun 2017 dan sebagian Tahun 2018, belum termasuk cost of fund. Sesuai keputusan rapat dengar pendapat Komisi VI DPR dengan pertamina, bahwa Pemerintah diminta membayar kewajibannya yang ditunaikan setiap tahun anggaran.

"Saya menyarankan kepada pertamina, setelah pencairan hutang pemerintah dapat di eksekusi, agar dapat mengevaluasi seluruh manajemen dari atas sampai anak-cucu perusahaan. Anak perusahaan yang performanya rendah, mesti segera di tutup jangan sampai menggerogoti dan membebani induknya", pintanya.

Baca Juga

Pada RDP Komisi VI dengan Direktur Pertamina bersama jajaran, Nevi Zuairina angkat bicara bahwa di tengah kondisi Covid-19 saat ini, masyarakat membutuhkan BBM murah dan ramah lingkungan. Sementara bila Pertamina menerapkan BBM ramah lingkungan, artinya perusahaan akan menarik distribusi premium dan solar ke depannya.

"Pengkajian rencana itu seperti apa? Seberapa relevannya? Karena di tengah kondisi Covid-19 ini masyarakat memerlukan BBM murah," katanya, dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi VI DPR dengan Pertamina di Jakarta, senin 29 Juni 2020 Lalu.

Menurut Nevi, saat ini kilang-kilang pertamina sudah kuno dan ketinggalan zaman. Di luar Negeri, model yang dipakai pertamina sudah ditinggalkan. Jadi menurutnya, perlu ada peremajaan kilang yang lebih efisien serta ramah lingkungan.

Politisi Fraksi PKS ini secara umum mendorong kementerian BUMN agar memberi ruang kepada DPR untuk melakulan pengawasan yang dilakukan oleh Komisi VI dapat lebih efektif. Pertamina sebagai BUMN Strategis di bidang energi mesti dapat menjalankan eksekusi atas kebijakan-kebijakan Pemerintah dalam bidang minyak dan gas untuk menjelaskan road map yang lebih detail terkait dengan perubahan struktur organisasi termasuk beberapa sub holding. Tapi Secara bersamaan, jangan jalannya perusahaan mesti sehat sehingga mampu menyumbang penerimaan negara lebih baik sekaligus memberi program sosial kepada masyarakat.

Nevi melanjutkan, bahwa komisi VI telah memberi catatan penting kepada pemerintah Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian BUMN dan Pertamina agar melakukan kajian yang mendalam mengenai reformasi subsidi BBM yang meliputi data penerima manfaat, model penyaluran subsidi yang efisien dan tepat sasaran, perhitungan angka subsidi yang sesuai dan mekanisme pembayaran yang tepat waktu dan akuntabel.

"Secara regulasi kenegaraan, pertamina bersama kementerian ESDM bermitra dengan komisi VII DPR. Secara Bisnis dan manajemen, Pertamina bersama menteri BUMN bermitra dengan Komisi VI DPR. Sedang berkaitan keuangan Negara, kementerian keuangan membahas detail bersama komisi XI DPR. Jadi perlu ada rapat gabungan membahas pertamina ini karena membahas anggaran negara yang sangat besar sehingga kejadian hutang pemerintah yang mencapai 45 Triliun itu tidak terulang", Jelas Nevi.

Legislator Sumatera Barat ini menekankan, kedepannya setiap kebijakan itu jangan sampai membebani BUMN. Sebagai contoh, pada saat Menteri ESDM Ignasius Jonan sempat mengumumkan kenaikan harga BBM pada hari Rabu, 10 Oktober 2018, lalu dibatalkan pemerintah lewat Menteri BUMN pada hari yang sama. Harga BBM tidak jadi naik. Akibat kebijakan politik pencitraan ini, Pertamina harus menanggung beban PSO diluar anggaran APBN. Lalu Pertamina menerbitkan obligasi untuk menutupi pembengkakan biaya impor minyak. Inilah yang jadi hutang Pemerintah ke Pertamina yang jumlahnya mencapai Rp.113 Triliun, dan mau dibayar Rp.45 Triliun di tahun 2020 ini.

"Sekarang keuangan negara kritis menghadapi banyak persoalan, terutama hutang pemerintah. APBN sedang dalam tekanan hebat akibat mewabahnya Covid-19. Defisit APBN hingga April 2020 sebesar Rp.74,5 Triliun, setara dengan 0,44 persen terhadap Produk Domestik Bruto (Data Kemenkeu). Dalam kondisi kesulitan keuangan Negara sekarang ini, ada dua pilihan, prioritas menyelamatkan APBN atau Pertamina dulu. Dalam hal ini Pemerintah jangan sampai salah langkah", tutup Nevi Zuairina. (*/mel)

Editor: BiNews

Komentar

Berita Terbaru