Resesi Sosial

664 hit
Resesi Sosial

Oleh: Muhammad Irsyad Suardi

Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Universitas Andalas

Para pengamat, ekonom, akademisi dan kementerian keuangan, hampir memastikan akan terjadi resesi diakhir 2020. Semua gamang, cemas, berpikir keras, bahkan, ada yang mulai menjual seluruh aset agar kerugian tidak melebar jauh. Semua sektor terdampak, swasta, pemerintah, asing dan pedagang kecilpun ikut terhempas.

Menurut OECD, dalam laporan Proyeksi Ekonomi Juni 2020, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 2,8 persen. Dengan asumsi, lonjakan terjadi akibat kasus Covid-19 yang terus meluas. Akibatnya, terjadi PHK besar-besaran, daya beli rendah, persaingan sikut kiri-sikut kanan dan pengangguran melonjak.

Begitu pula dengan Sosio-Resesi (Resesi Sosial). Perubahan perilaku masyarakat melonjak naik 100 persen. Baik kelas menengah, kelas kakap. Semua mulai mengamankan stok untuk beberapa bulan kedepan. Baik berupa barang, jasa dan sektor riil terkait. Kini, Indonesia dikabarkan akan mengalami Resesi Jilid III, sebelumnya pernah terjadi tahun 1960 dan 1998. Akibatnya, semua sektor buyar, bahkan krisis yang menjerit.

Josua Pardede, Ekonom Indonesia, mengatakan, tahun 1960 ekonomi Indonesia pernah mengalami kontraksi dari 1962-1963. Dampaknya, tak terkendalinya inflasi dan beberapa sektor lumpuh total tahun itu. Ini menjadi kewaspadaan pemerintah yang mesti dicari antisipasi dan solusi dalam meminimalisir kerugian yang akan terjadi.

Sedangkan, efek dari Resesi Sosial menambah skema pengangguran menjadi melebar dan efek panjangnya dapak berujung krisis kemanusiaan. Atau kekerasan sosial, seperti: pencurian, penjarahan, penutupan usaha dan kelaparan dibanyak tempat. Mungkin, kesenjangan telah terjadi perlahan-lahan. Data Kementerian Keuangan 2020, kuartal II menunjukkan kontraksi negative sebesar 3,8 persen. Artinya, pelemahan kuartal rupiah diprediksi akan merosot lagi diatas angka 15 ribu.

Stimulus Tepat Sasaran

Ditengah ancaman itu, keamanan sosial mulai harus dicurigai. Sebab, efek akibat PHK yang terus terjadi berdampak terhadap perilaku individu yang tengah krisis. Krisis uang, bahan pokok, krisis rumah tangga dan gaji yang kian tergerus. Akibatnya, individu masyarakat mulai mencari alternative untuk keluar dari keterpurukan. Salah satu jalannya, menjarah, mencuri dan seterusnya.

Maka, mesti ada stimulus, baik dari pemerintah, sektor swasta dan lembaga pendukung terkait yang bisa menghidupi harian individu masyarakat akibat krisis yang akan diperkirakan terjadi. Pemberian stimulus perlu pengawalan ketat, agar masyarakat yang betul-betul terdampak, bisa langsung menerima manfaat dari pemberian stimulus bantuan. Dengan kata lain, pemberian stimulus nan tepat sasaran, langsung menyasar kepada pihak yang betul-betul membutuhkan. Yang bukan hanya internal orang-orang terdekat, atau internal kenalan satu dengan individu yang berwenang.

Disinyalir, perlu gugus khusus agar pemberian bantuan bersifat tepat. Post-post anggaran dari kementerian harus sampai dengan komposisi sesuai dengan kebutuhan dan tidak ada pemotongan dari turunannya. Biasanya, sering bahkan terus terjadi dari tingkatan pemerintah. Semisal, Pemprov, Pemda bahkan tingkat kecamatan sekalipun. Perhatian serius dan kesadaran dari segenap pejabat terkait semestinya menyadari bahwa pemotongan tersebut sangat menyakitkan hati orang yang menerima. Yang semula mereka dapat membeli berbagai kebutuhan, namun setelah dipotong mereka hanya dapat member beras dan beberapa item lainnya.

Skema perencanaan ditiap level pemerintah mesti jelas, jelas berapa uang tunai yang didapatkan dan jelas kepada siapa diberikan.

Sosial Gotong-Royong

Konsep Resesi Sosial memang baru, tertanam ketika resesi ekonomi yang kian menggelinding seperti bola salju yang turun dari atas gunung, akibatnya, terjadilah hantaman berupa resesi sosial. Bola besar resesi sosial dampaknya akan lebih mengerikan daripada resesi ekonomi. Dampak dari resesi ekonomi yang paling parah kemiskinan yang menggemuk ditengah kemerosotan sosial. Namun, dampak dari resesi sosial ialah hilangnya nilai-nilai humanisme karena sudah tidak lagi memikirkan orang-orang sekitar. Akibatnya, penjarahan berupa kebutuhan makanan, penjarahan berupa uang bisa saja terjadi.

Data Kementerian Ketenagakerjaan Mei 2020, imbas terjadinya Covid-19 mengakibatkan PHK sebanyak 3 juta karyawan yang tersebar di seluruh Indonesia. Sektor UMKM yang paling merasakan dampak PHK. Alhasil, karyawan mesti dirumahkan yang besar kemungkinan keluarga dirumah mulai kelaparan berhari-hari yang efek panjangnya akan terjadi hal-hal yang semestinya tidak dinginkan terjadi. Semisal pencurian, pemalakan dan seterusnya.

Bahkan, bisa saja pembunuhan jiwa seseorang karena anak-istri belum makan 3 hari. Sehingga, akal sehat sudah hanyut oleh perut yang 3 hari sudah kosong kering.

Maka, perlu satu upaya dari golongan menengah keatas, untuk melihat dan meraba situasi sekitar. Membaca dan mengamati siapa saja korban PHK, siapa saja korban dari keluarga tidak sudah tidak makan berhari-hari dan memastikan siapa saja actor yang dapat berpartisipasi dalam mengurangi efek dari resesi sosial. Dibutuhkan, gotong-royong terhadap korban yang terdampak resesi sehingga golongan menengah keatas mengurangi dampak buruk yang akan terjadi nantinya. Jika seandainya terjadi, setidaknya golongan menengah keatas telah meminimalisir kejadian yang semestinya berdampak besar. Dengan gotong-royong lahir kepekaan sosial berupa nilai-nilai humanis kemanusiaan terus aktif ditengah situasi yang sama-sama kita rasakan.

Komentar